KelicikanBelanda Hancurkan Indonesia Lewat Politik Adu Domba. Sabtu 02 Apr 2016 07:00 WIB. Red: Karta Raharja Ucu. 0. Ilustrasi tentara Belanda pada 1942. Foto: hellfire-pass.commemoration.gov.au. REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Alwi Shahab. Sekalipun pemerintah kolonial bersikap sangat keras terhadap Pan Islam (gerakan yang mempersatukan segenap umat Mulanya politik adu domba adalah strategi atau upaya perang yang telah diterapkan oleh berbagai bangsa kolonialis di abad ke 15. Negara-negara yang terlibat diantaranya yaitu Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Inggris. Bangsa kolonialis tersebut, melakukan sebuah ekspansi dan penaklukan itu dengan tujuan untuk mencari sumber kekayaan Awalmula penjajahan Belanda di Indonesia terkait Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang berdiri pada 20 Maret 1602. Beberapa peraturan penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat nusantara yaitu: Politik adu domba, VOC melakukan politik adu domba (devide et impera) yaitu saling mengadu domba antara kerajaan yang satu dengan kerajaan Seiringdengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga devide et impera tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.o Unsur-unsur yang PangeranDiponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro. Beberapa penyebab meletusnya Perang Diponegoro antara lain sebagai berikut. Pangeran Diponegoro tersingkirkan dari elite kekuasaan, karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. 100 tafsir mimpi togel 2d bergambar erek erek singapore. Arti Politik Adu Domba Devide Et Impera HITAM PUTIH – Apa yang dimaksud dengan politik pecah belah yang diterapkan oleh Belanda? Divide et impera merupakan kombinasi strategi orang belanda dalam hal politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Secara harfiah, devide et impera dapat diartikan sebagai “pecah dan berkuasa”. Strategi ini dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran Romawi. Caranya adalah dengan menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga mudah untuk dikuasai. Dalam konteks lain, devide et impera juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Seiring waktu, devide et impera juga dikenal sebagai politik pecah belah atau politik adu domba. Politik devide et impera di Indonesia Devide et impera perama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda melalui VOC Vereenigde Oostindische Compagnie. Selain monopoli, salah satu siasat yang digunakan oleh VOC untuk menguasai nusantara adalah devide et impera. Politik adu domba bahkan dijadikan kebiasaan oleh VOC dalam hal politik, militer, dan ekonomi untuk melestarikan penjajahannya di Indonesia. Orientasinya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menaklukkan raja-raja di nusantara. Strategi Belanda yang paling ampuh menghadapi perlawanan dari penguasa lokal adalah dengan meakukan politik adu domba. VOC pun mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan besar di nusantara dengan memanfaatkan perang saudara ataupun permusuhan antarkerajaan. Berikut beberapa contoh keberhasilan VOC dalam melaksanakan devide et impera di nusantara 1. Perang Makassar Dalam perang ini, VOC berhasil menaklukkan Kesultanan Gowa dan Kota Makassar pada 1669 karena dibantu oleh Raja Bone dan Arung Palakka yang tengah berseteru dengan Sultan Hasanudin. 2. Konflik Kerajaan Mataram Konflik ini membuat posisi VOC sangat diuntungkan, sedangkan posisi Kerajaan Mataram semakin melemah karena terbagi menjadi empat kerajaan. Selain itu, Belanda juga berupaya melakukan siasat devide et impera pada Perang Saparua, Perang Padri, Perang Diponegoro atau Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Banjar, dan Perang Jagaraga. Penggunaan politik adu domba sukses membuat bangsa Indonesia berkonflik dan berebutt kekuasaan. Efektivitas devide et impera pun mendapat perhatian khusus oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Strategi Belanda di Nusantara Berikut strategi yang dilakukan Belanda saat menerapkan politik devide et impera Make friends and create common enemy Pada langkah ini, Belanda akan berusaha menjadi teman dan menciptakan musuh bersama. Apabila sudah berteman, maka negosiasi dan diplomasi akan berjalan lebih mudah. Sementara common enemy yang dimaksud adalah pihak lain yang menjadi saingan bisnis VOC. Manajemen isu Pola ini dilakukan dengan menebar selentingan kabar dan desas-desus, baik di lingkungan politik maupun sosial. Bentuk lain dari manajemen isu adalah propaganda. Bermain di dua sisi Belanda biasanya akan berpihak pada dua kubu yang saling bertentangan seolah berada posisi netral. Merekrut pemimpin lokal Belanda biasanya akan merekrut pemimpin lokal sebagai bagian dari rantai manajemen terbawah. Trik ini dilakukan dengan memberi pengakuan yang mengatasnamakan kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah. Seperti yang terjadi pada Perang Diponegoro dan Kesultanan Melayu. Mengatur terjadinya perang saudar Cara ini dilakukan dengan menggunakan pribumi sebagai kekuatan militan untuk melawan bangsanya sendiri. Pola ini terlihat di Sumatera Barat pada 1821-1837, saat Belanda berhasil memprovokasi Kaum Adat untuk berperang melawan Kaum Paderi. Devide et impera pasca proklamasi kemerdekaan RI Pasca proklamasi kemerdekaan, Belanda kembali mencoba menerapkan politik devide et impera untuk memecah belah persatuan Indonesia. Upayanya pun berhasil memecah Indonesia menjadi negara-negara bagian, yaitu Negara Indonesia Timur sekarang Papua, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur. - Strategi Belanda yang paling berhasil dalam menghadapi perlawanan dari penguasa lokal bangsa Indonesia yaitu dengan melakukan politik adu domba atau devide et impera. Strategi yang juga dikenal sebagai politik pecah belah tersebut dipopulerkan oleh Julius Caesar dalam upaya membangun Kekaisaran Romawi. Cara melakukan devide et impera adalah menimbulkan perpecahan di suatu wilayah, sehingga mudah untuk et impera artinya secara harfiah adalah "pecah dan berkuasa". Baca juga Kondisi Bangsa Indonesia di Masa Penjajahan Belanda Contoh politik devide et impera di Indonesia Dalam buku "Mohamad Isa - Pejuang Kemerdekaan yang Visioner" 2016 karya Feris Yuarsa, contoh politik devide et impera yang diterapkan di Indonesia bisa dilihat di mengawalinya dengan membentuk Gerakan Daerah Istimewa Sumatra Selatan GDISS, untuk mendirikan Negara Sumatera Selatan yang mengusung semboyan "Sumatera Selatan untuk Sumatera Selatan". Badan tersebut dibentuk dua bulan setelah Agresi Militer 1 dan otak di belakang aksi itu adalah Dr HJ van Mook. Ia mengembuskan isu separatis dan menghasut bahwa warga Palembang tidak suka dipimpin orang Jawa, Sumatera Utara, atau Sumatera Tengah. Van Mook bahkan mengatakan secara terang-terangan, penduduk asli Palembang tidak akan pernah menempati posisi kunci selama orang-orang dari luar Palembang berkuasa Hasutan Van Mook kemudian termakan oleh sebagian kecil warga Palembang yang diiming-imingi dengan berbagai kewenangan dan kekuasaan. A. Pengertian Politik Adu DombaPolitik adu domba divide et impera atau politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Secara harfiah kata Devide et Impera diartikan menjadi kata pecah, dan berkuasa. Strategi itu diperkenalkan oleh seorang bernama Julius Cesar guna sebagai upaya dalam membangun kekaisaran Romawi. Devide et Impera atau politik adu domba adalah strategi politik, militer, dan ekonomi dengan cara memunculkan perpecahan pada suatu daerah agar dapat mudah untuk mereka pecah belah ini kemudian menjadi strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis. Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik. Politik Devide et Impera di Nusantara, terutamanya di wilayah Indonesia pertama kali dipopulerkan oleh Belanda lewat VOC atau disebut juga Vereenigde Oostindische Compagnie. Selain monopoli yang merupakan salah satu siasat yang dilakukan oleh VOC guna menaklukkan Nusantara yaitu Devide et adu domba ini juga dijadikan sebagai suatu kebiasaan bagi VOC guna melakukan hal politik, ekonomi, dan juga militernya. Orientasinya yaitu mencari sebuah keuntungan dengan sebanyak-banyaknya dengan cara menaklukkan raja-raja yang berada di wilayah Asal Usul Politik Adu DombaPenjajah kolonial Belanda memiliki strategi politik pecah belah yang digunakan untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI pasca kemerdekaan Indonesia 1945. Politik pecah belah adalah pertengkaran yang digunakan untuk bertujuan memecah belah suatu bangsa agar dapat menaklukkan wilayah atau daerah yang bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah untuk membentuk negara boneka pada tahun 1947-1948 yang meliputi lima negara boneka, antara lain Negara Indonesia Timur sekarang Papua, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan dan Negara Jawa Timur. Tujuan belanda membentuk negara boneka untuk menjanjikan kemerdekaan pada negara-negara awal terjadinya suatu Perang Dunia II tersebut, bertepatan pada tanggal 6 dan 8 Agustus 1945. Pada saat itu Jepang telah mengaku kalah dari tentara sekutu dengan pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki. Pada tanggal 14 Agustus 1945, akhirnya Jepang menyerah pada sekutu dan kemudian para sekutu memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo memiliki arti bahwa kondisi untuk tetap menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 di Tanjung Priok terdapat rombongan Belanda dan perwakilan sekutu yang sedang tentara sekutu tersebut, didampingi Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda NICA yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. Pertemuan tersebut membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 yang membahas mengenai staatkundige concept atau disebut juga dengan konsepsi Jepang mengakibatkan terjadinya kekosongan pemerintahan yang berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945 para pemuda Golongan Muda membuat strategi dengan melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok Peristiwa tersebut merupakan penculikan terhadap dua bapak proklamator Republik Indonesia Soekarno-Hatta ke Karawang, Jawa Barat yang bertujuan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal tersebut bertolak belakang dengan Belanda yang menolak akan kemerdekaan Indonesia 1945, karena Belanda ingin kembali berkuasa. Hal tersebut yang mengawali terjadinya agresi militer I 1947 dan agresi militer II Belanda I dan II, terjadi Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Belanda masih kokoh untuk meminta pengembalian semua wilayah bekas jajahan Belanda yang masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Dengan merdekanya negara Indonesia membuat negara tersebut menjadi negara berdaulat. Serta membuat Indonesia harus melawan Belanda untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang sampai itu pada Perjanjian Linggarjati Pada tahun 1946, terjadi suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Linggarjati di Linggarjati, Jawa Barat yang dihadiri oleh pihak Indonesia yaitu Sultan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn. Perjanjian tersebut menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto yang hanya mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara akhirnya terjadilah suatu Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947. Pada perundingan perjanjian Linggarjati pihak Belanda dari Wakil Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil perundingan tersebut tidak berlaku lagi, menegaskan tersebut terjadi pada tanggal 21 Juli Belanda akan memulai operasi militer Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer tersebut bernama Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pembentukan agresi Belanda bertujuan untuk merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam terutama pada Perjanjian Renville 1948 terjadi akibat tindakan Belanda yang membentuk agresi militer I akhirnya pihak Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu kedua belah pihak menandatangani perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, perundingan dari perjanjian renville 1948 adalah Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata tapi kehilangan sebagian wilayahnya, sedangkan untuk Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia RI di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera serta meminta Tentara Negara Indonesia TNI menarik pasukannya dari wilayah itu, terjadilah suatu Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Pada saat itu Belanda melakukan pemberontakan pada tanggal 19 Desember 1948 terhadap isi perjanjian renville dan melanggar gencatan senjata. Belanda melakukan penyerangan dengan mengerahkan pasukannya yang kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta. Selain itu Belanda melakukan penangkapan beberapa tokoh Indonesia antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh terbentuklah Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Ketika itu Amerika Serikat melakukan perundingan Konferensi Meja Bundar KMB dengan menekan Belanda dan Indonesia di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Perundingan tersebut membahas terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia termasuk Papua di perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda menyetujui untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Wilayah Papua Barat merupakan satu-satu bagian wilayah yang tidak dipindahkan ke Indonesia, tetapi akan dibahas kembali setelah setahun kemudian pada tahun akhirnya Negara bagian Indonesia Timur atau yang tepatnya berada di daerah Papua wilayah Indonesia pada tahun 1947 hingga 1948 mengakibatkan Belanda menguasai Indonesia dengan mudah dan membagi-bagi menjadi kelompok kecil dengan total 6 bagian negara antara lain Negara Indonesia Timur sekarang Papua, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan dan Negara Jawa bagian Papua masih belum dikembalikan oleh Belanda hingga tahun 1961 yang seharusnya Belanda harus mengembalikan Papua menjadi bagian wilayah dari Indonesia yang sesuai dengan hasil perundingan hasil Konferensi Meja Bundar KMB di Den Haag, Belanda yang dibahas satu tahun kemudian pada tahun 1950. Alasan Belanda masih menjadikan wilayah Papua menjadi miliknya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik dan untuk memperkuat basis ekonominya di wilayah tersebut membuat Belanda untuk mendirikan negara boneka Papua. Pada tanggal 19 Oktober 1961 Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council . Komite tersebut bertugas untuk merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional atau disebut juga Bendera Bintang Kejora, cap negara, memilih lagu kebangsaan yaitu Hai Tanahku Papua dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang tanggal 18 November 1961 Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua dan peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Selain itu pada tahun 1961 Belanda mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua PVK dan tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi sebab itu, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh bangsa kolonial. Beberapa hal tersebut meliputi teknik dalam politik pecah belah, dan juga upaya-upaya dalam politik adu domba. Nah, untuk mengetahuinya lebih jelasnya kamu dapat memperhatikan penjelasan di bawah Upaya Dalam Politik Adu DombaDi dalam melakukan politik pecah belah ini terdapat beberapa unsur yang dijadikan sebagai teknik pada politik adu domba di antaranya,1. Mendorong, dan menciptakan sebuah perpecahan di dalam masyarakat guna mengurangi aliansi yang dapat melawan kekuasaan yang Mempromosikan, atau membantu mereka yang ingin melakukan kerjasama dengan kekuasaan yang Mendorong permusuhan, dan rasa ketidakpercayaan antar kelompok atau Mendorong sikap konsumerisme yang bertujuan untuk melemahkan biaya politik maupun berbagai macam strategi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kolonial. Salah satu strategi para penjajah yang paling ampuh untuk menghadapi perlawanan dengan penguasa lokal, yaitu melalui politik adu domba. Langkah awal dari VOC yakni mampu untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan besar yang berada di wilayah nusantara dengan memanfaatkan perang antar saudara maupun adanya permusuhan antar rencana pertama mereka berhasil dengan menggunakan politik adu domba. Mereka juga sukses untuk membuat bangsa Indonesia berkonflik dan berebut kekuasaan di wilayah nusantara. Dengan membuat efektivitas devide et impera pun menjadi Efektif dan memperoleh perhatian secara khusus dari pemerintah kerajaan Bangsa kolonial karena berhasil membuat sebuah perpecahan yang terjadi di wilayah beberapa macam upaya-upaya yang dilakukan bangsa kolonial guna menaklukkan wilayah kekuasaan Nusantara ketika menerapkan politik devide et impera di antaranya,1. Menjadi Teman dan Menciptakan musuhPada upaya-upaya ini, Bangsa kolonial, berusaha untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai teman. Setelah itu, mereka menciptakan seorang musuh secara bersama. Hal itu karena manakala bangsa kolonial telah berteman, maka segala proses negosiasi dan diplomasi tersebut akan berjalan secara mudah, dan lancar. Dengan semua halnya menjadi mudah maka akan membuat negara tersebut menghancurkan negara lainnya. Hingga akhirnya membuat pihak lain dijadikan sebagai saingan bisnis VOC. Itulah yang dinamakan menciptakan Manajemen isuPada upaya yang kedua ini yaitu dengan manajemen isu, pada biasanya pola yang dilakukan bangsa kolonial yaitu dengan menebar selentingan kabar maupun desas-desus baik dilakukan di lingkungan politik atau sosial. Bentuk lain dari manajemen isu yaitu Bermain di dua sisiUpaya yang dilakukan berikutnya yaitu bermain di dua sisi. Bangsa kolonial pada umumnya akan berpihak oleh dua kubu yang saling bertentangan seolah berada posisi Merekrut pemimpin lokalPada umumnya kolonial akan merekrut seorang pemimpin lokal menjadi bagian dari rantai manajemen bawah. Trik itu dilakukan guna memberikan pengakuan yang mengatasnamakan bangsa kolonial terhadap entitas politik di suatu daerah. Hal itu serupa dengan terjadinya sebuah Perang Diponegoro dan Kesultanan Mengatur terjadinya perang saudaraLangkah itu dilakukan dengan memakai pribumi sebagai kekuatan militer guna melawan bangsanya sendiri. Pola tersebut tampak pada sejarah di Sumatera Barat pada tahun 1821-1837, yang mana ketika itu bangsa kolonial berhasil untuk memprovokasi Kaum Adat guna melakukan sebuah peperangan melawan Kaum Dampak Politik Adu Domba di IndonesiaPada masa penjajahan Belanda, politik adu domba memberi dampak yang sangat besar terhadap keutuhan wilayah-wilayah di nusantara. Ketidaktahuan rakyat pada masa itu membuat Belanda dengan mudah memecah belah persatuan dan muncul kelompok-kelompok kecil dengan kedudukan yang lemah. Permusuhan antar kelompok tersebut kemudian berkembang menjadi bentrok antar wilayah yang sering terjadi. Tujuan untuk mencapai persatuan pun makin sulit masa sekarang, politik adu domba menyebabkan perselisihan di masyarakat seolah masyarakat kita masih suka diadu-adu dan mudah terpancing isu. Budaya baca yang rendah membuat masyarakat lebih sering melahap mentah-mentah berita yang beredar. Akibatnya masalah kecil bisa berkembang menjadi masalah yang besar. Misalnya saja elit politik yang memanfaatkan isu-isu bertema SARA dan sengaja dilempar ke media untuk memunculkan ketegangan di ini tentunya mengancam kerukunan dan toleransi antar umat beragama, suku dan ras. Tersebarnya berita-berita yang belum tentu kebenarannya juga dapat membuat resah masyarakat. Hubungan pertemanan pun menjadi renggang hanya gara-gara memiliki pandangan politik yang yang digunakan dalam strategi politik adu domba sebetulnya adalah untuk menciptakan perpecahan dan mencegah terbentuknya kelompok yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar. Akibatnya muncul tokoh-tokoh boneka’ yang saling melemahkan satu sama lain dan mendorong rasa tidak percaya antar kita sebagai bangsa Indonesia tentu tidak ingin negara menjadi terpecah belah. Maka dari itu kita jangan lagi mau diadu domba. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk selalu menguatkan tali persatuan tanpa memandang suku, agama dan ras. Oleh Gio Ovanny Pratama Domba? Ya domba memang sebutan untuk binatang berkaki empat berbulu lebat. Ada yang berbulu putih dan ada yang berbulu hitam. Tak jarang bulu lebatnya itu sering diburu orang-orang untuk industri tekstil. Selain dagingnya bisa dimakan dan menjadi sumber protein, susunya juga kaya akan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Begitu banyak manfaat binatang yang satu ini. Namun apa jadinya jika kata “domba” ditambah dengan kata “politik” dan “adu” diawalnya? Tentu saja maknanya berubah 180 derajat. “Politik adu domba” itu lah jadinya. Bersinonim dengan politik pecah belah menjadikan istilah ini popular dikalangan pejabat-pejabat struktural pemerintahan dari masa ke masa. Pun demikian dengan masyarakat awam dan menengah ke bawah serta rakyat biasa, semuanya akrab dengan yang satu ini. Hal ini membuktikan bahwa politik adu domba bukan kemana-mana tapi ada dimana-mana dan kapan saja. Mari kita simak kembali perjalanan sejarah negeri ini. Sebelum tahun 1900-an, ketika para pejuang kemerdekaan masih berjuang dengan senjata khas bambu runcing. Tak ada kesatuan dan kekompakkan bagi pejuang diseluruh pelosok negeri. Jangankan secara nasional, di tingkat daerah saja sesama pribumi tercipta kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Ambil contoh perang Paderi di Sumatera Barat, perang ini meletus karena perbedaan pendapat antara kaum paderi yang berprinsip kepada ajaran islam dengan kaum adat yang berprinsip pada aturan adat turun temurun dari nenek moyang. Apakah sebenarnya yang menyebabkan peperangan ini? mempertahankan idealisme masing-masing? Itu hanya akar masalahnya. Yang sebenarnya terjadi adalah adu domba dari penjajah Belanda. Campur tangan Belanda di Ranah minang tak lain tak bukan adalah demi memperluas pengaruh kolonialisme dan kekuasaan mereka. Mereka mempengaruhi tokoh-tokoh dari kedua pihak sehingga timbul perselisihan antara kedua kubu. Buktinya setelah perang berakhir Belanda berhasil mencapai tujuannya, yaitu menangkap tokoh paling berpengaruh Tuanku Imam Bonjol dan menguasai daerah Ranah minang dan sekitarnya. Begitu pulalah yang terjadi pada daerah lain di nusantara selama perang kemerdekaan. Adu domba dan pecah belah menjadi senjata utama penjajah Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di Indonesia. Dalam bahasa Belanda politik adu domba disebut dengandevide et impera. Sadar dengan kegigihan masyarakat pribumi dan jumlah yang banyak belanda menemukan sebuah cara untuk menguasai Indonesia kala itu. Dengan adu domba dan pecah belah, Belanda berhasil memecah kelompok-kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok menghancurkan kelompok lainnya. Akhirnya Belanda tinggal menghancurkan kelompok kecil yang tersisa dan diakhiri dengan tawa lepas. Hal ini pula lah yang diadopsi masyarakat Indonesia. Terutama petinggi-petinggi negaranya. Perasaan tak senang jika tak menguasai, tak senang jika posisi tertentu diisi orang lain, menjadikan politik adu domba jembatan menuju kekuasaan. Tak peduli rakyat akan tertindas olehnya yang penting berkuasa! Sejak dibentuknya negeri ini oleh The Founding Fathers, politik adu domba terasa telah mengalir didarah masyarakat Indonesia. Warisan tak berwujud itu secara tak langsung diturunkan kompeni kepada masyarakat pribumi negeri ini. Wujudnya memang tak nampak, tapi ia ada dimana-mana. Seperti sinetron yang sedang menjamur di negeri ini. Secara tak langsung telenovela versi Indonesia ini menjadi salah satu agen dalam meroketnya kekuatan adu domba. Bertemakan kehidupan remaja namun yang dipertontonkan lebih banyak intrik dan konflik antar tokoh demi mencapai tujuan masing-masing. Antagonis dan protagonis, protagonis selalu saja tertindas, antagonis selalu menang dengan akal-akal liciknya menebar kebohongan dan fitnah demi meraih tujuannya yang picik. Di level yang lebih tinggi, para elit juga memerankan tokoh protagonis dan antagonis. Layaknya sinetron, protagonis selalu tertindas, antagonis dengan sengaja memecah belah kelompok besar menjadi kelompok kecil dengan tujuan tak ada kekuatan besar yang bisa menghalangi rencananya mendapatkan kemenangan. Hal inilah yang mengakibatkan sebuah program yang telah disusun tak kunjung terealisasi. Sering kali kita berjumpa dengan hal di atas dikehidupan sehari-hari. Intrik dan konflik kepentingan dipertontonkan seakan menjadi hal lumrah dan menjadi kebanggaan bagi pelakunya. Yang lurus malah dibungkam, yang sesat justru dijunjung dan diagungkan. Inilah benih yang telah diwariskan kolonial Belanda kepada negeri tercinta ini. Masyarakat sekarang dituntut harus bijak dan pandai menilai kebenaran itu. jangan mudah terprovokasi berita yang belum tentu benar. Sebuah informasi harus di kroscek lagi, jangan mudah diadu domba, jernihkan pikiran dan lihat baik-baik kebenaran yang hakiki. Redaksi Badan Otonom Pers Mahasiswa BOPM Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara USU. Mahasiswa/Alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta07 Januari 2022 0648Hallo Wena A, Kakak bantu jawab ya. Kebijakan atau politik yang dilakukan Belanda saat di Indonesia antara lain Politk Adu Domba Devide et Impera, Sistem Tanam Paksa, dan Politik Etis. Untuk lebih jelasnya, yuk pahami pembahsan dibawah ini. Belanda merupakan salah satu negara yang pernah menjajah Indonesia. Belanda datang dengan melakukan monopoli perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah di Nusantara. Saat Belanda di Indonesia, hal pertama yang dilakukan Belanda adalah melakuakan Politik Adu Domba atau Devide et Impera, yaitu melakukan Adu Domba pada kerajaan yang berdiri di Nusantara sehingga mereka mengalami perpecahan dan Belanda dengan mudah menguasai wilayah tersebut. Saat Belanda di Indonesia, Belanda juga menerapkan sistem tanam paksa atau Cultuurstelstel yaitu tanam paksa kepada masyarakat pribumi untuk menghasilkan tumbuhan komoditas internasional dan kerja paksa, kebijakan ini membuat masyarakat menderita dan menimbulkan kelapran dan kemiskinan. Selanjutnya Politim Etis atau Politik Balas Budi yang diterapkan Belanda demi membalas budi atas kekejaman Sistem Tanam Paksa dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, imigrasi, dan edukasi. Semoga membantu ya.

belanda pernah melakukan politik adu domba di nusantara yaitu antara